Berita KBB - Pengamatan hilal atau fase bulan baru sering menjadi patokan utama dalam menentukan awal bulan suci Ramadhan setiap tahun. Tidak jarang juga, penentuan awal Ramadhan berdasarkan posisi hilal menimbulkan perbedaan yang sering diperdebatkan.
Di Indonesia sendiri, hilal atau bulan sabit yang pertama setelah ijtima atau konjungsi ini diamati menggunakan 2 metode yang berbeda untuk menentukan awal bulan suci Ramadhan.
2 metode pengamatan hilal yang populer di Indonesia ini yakni metode hisab dan metode rukyat. Apa karakteristik dan perbedaan dari kedua metode pengamatan hilal ini? Mari kita simak bersama sama.
Metode hisab adalah metode pengamatan hilal yang dilakukan berdasarkan analisis perhitungan astronomis. Dalam metode ini, pengamat melihat apakah proses dari fase bulan mati menuju bulan sabit baru sudah terjadi atau belum.
Apabila fase bulan baru sudah muncul, maka hilal dianggap sudah terlihat atau positif dan kalender pun berganti ke bulan yang baru.
Metode hisab ini pun dibenarkan dengan sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh HR Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ فِي رِوَايَةٍ فَأَقْدِرُوا ثَلاَثِينَ
Artinya: “Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR Muslim)
Sedangkan metode rukyat, pengamat melihat visibilitas hilal pada saat matahari sudah terbenam. Meskipun rukyat melihat posisi hilal secara visual, tetapi pada dasarnya perhitungan astronomis juga digunakan dalam metode ini.