Ahli Pidana: Putri Candrawathi Harusnya Buktikan Kekerasan Seksual Melalui Visum

- 23 Desember 2022, 22:10 WIB
Ahli Pidana: Putri Candrawathi Harusnya Buktikan Kekerasan Seksual Melalui Visum
Ahli Pidana: Putri Candrawathi Harusnya Buktikan Kekerasan Seksual Melalui Visum /
 
BERITA KBB - Ahli Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali, mengatakan Putri Candrawathi seharusnya membuktikan dugaan kekerasan seksual oleh Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J lewat visum. 
 
Namun, dalam kasus pembunuhan berencana Yosua ini, istri eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo itu tidak melakukan visum.
 
Kendati, Mahrus menyebut, tidak adanya visum bukan berarti meniadakan adanya dugaan tindakan kekerasan seksual. Hal itu ia sampaikan ketika menjadi saksi ahli sidang terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis 22 Desember 2022.
 
 
Awalnya, pengacara Sambo dan Putri, Rasamala, menjelaskan motif pembunuhan Yosua adalah dugaan adanya kekerasan seksual terhadap Putri pada 7 Juli 2022 di Magelang, Jawa Tengah.
 
“Dalam kaitan dengan motif tersebut saudara ahli bisa jelaskan soal kerangka kekerasan seksual, kejahatan kekerasan seksual yang bagaimana berdasarkan penelitian - penelitian, baik itu kaitannya terutama dengan korban dan bagaimana reaksi korban terhadap peristiwa kejadian kekerasan seksual bisa dijelaskan?” tanya Rasamala.
 
“Izin yang mulia, kalau kita lihat bukunya Prof Zainal Arifin almarhum, hukum pidana, beliau menjelaskan kalau motif itu menjadi penting dibuktikan, karena menyangkut keputusan atau kehendak seseorang ketika memutuskan sesuatu, itu yang pertama,” ujar Mahrus.
 
 
Dalam kasus kekerasan seksual, kata Mahrus, sering kali terjadi di ruang-ruang privat, sehingga minim bukti.
 
“Satu - satunya bukti yang biasa dihadirkan oleh Jaksa biasanya visum, tetapi kalau visum gak ada, gimana? Pertanyaan saya begini, visum itu gak ada terkait dengan tantangan yang lebih berat yang dihadapi Jaksa untuk membuktikan, tapi dia tidak menghilangkan tidak adanya kejahatan,” ujar Mahrus.
 
Oleh karena itu, ia menyimpulkan tidak adanya visum bukan berarti tidak adanya kekerasan seksual.
 
“Jangan disimpulkan kalau korban tidak melakukan visum tidak terjadi kejahatan, kenapa? Karena gini yang mulia, dalam perspektif victimology, korban kekerasan seksual itu tidak semuanya punya keberanian untuk melapor,” ujarnya.
 
Mahrus menjelaskan ada banyak faktor korban kekerasan seksual tidak memiliki keberanian untuk melapor.
 
“Korban kekerasan seksual saat melapor dia akan mengalami victimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana,” ujar Mahrus.
 
Ia pun memberikan contoh ketika korban kekerasan seksual diperiksa penyidik.
 
“Misalnya, makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? Lima kali pak, kalau lima kali itu bukan perkosaan yang pertama perkosaan, tapi yang kedua, kelima suka sama suka, saudara menikmati gak? Itu pertanyaan - pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali, karena pertanyaan yang tidak ramah,” ujar Mahrus.
 
“Maka kenapa Perma 2016 itu tentang perlakuan yang baik terhadap perempuan. Nah, faktor yang lain ada banyak faktor kenapa korban itu justru tidak melapor. Faktornya apa?
 
Budaya patriarki di negara berkembang bisa saja menyebutkan bahwa budaya patriarki bahwa yang berkuasa adalah laki - laki, perempuan itu selalu menjadi nomor dua,” ujar Mahrus.
 
Ia kemudian membeberkan kasus pemerkosaan seorang ayah terhadap anaknya hingga melahirkan di Jawa Timur. Korban memilih tidak melaporkan karena tekanan keluarga yang menyebut itu aib.
 
“Jadi artinya tidak semua korban kekerasan seksual itu punya keberanian untuk melapor, artinya apa betul kalau tidak ada visum itu kemudian itu menyulitkan pembuktian,” ujar Mahrus.
 
Korban kekerasan seksual dalam keadaan ini, bisa membuktikan adanya kekerasan seksual lewat tes psikologi.
 
“Tapi tidak menyatakan kalau kejahatan tidak terjadi, karena apa? Karena banyak sekali alat bukti yang bisa diarahkan, apa? Psikologi bisa menjelaskan itu, apa contohnya? Orang yang diperkosa pasti mengalami trauma, gak ada setelah diperkosa itu ketawa - tawa, gak ada. Maka gimana cara membuktikan? Hadirkan saksi psikologi untuk menjelaskan itu, saya tidak punya kompeten soal itu,” pungkas Mahrus.***

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x