Dalam konteks PLTN Fukushima Daiichi, IAEA telah memberikan berbagai bantuan kepada Jepang sejak terjadinya kecelakaan nuklir pada tahun 2011. Selain melakukan misi PASAM, IAEA juga memberikan rekomendasi teknis, saran kebijakan, serta dukungan komunikasi dan koordinasi dengan komunitas internasional terkait isu-isu seperti dekontaminasi lingkungan, pengelolaan limbah radioaktif, pemulihan sosial-ekonomi, serta kesehatan masyarakat.
Salah satu isu yang menjadi perhatian IAEA adalah rencana Jepang untuk membuang air limbah radioaktif yang telah diolah dari PLTN Fukushima Daiichi ke laut. Air limbah tersebut merupakan hasil pendinginan reaktor nuklir yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi dan tsunami. Air limbah tersebut disimpan dalam tangki-tangki besar di lokasi PLTN, namun kapasitas penyimpanannya akan habis pada tahun 2022.
Jepang mengklaim bahwa air limbah tersebut telah diolah dengan menggunakan sistem pengolahan cairan multi-nuklida (Advanced Liquid Processing System/ALPS) yang dapat menghilangkan sebagian besar unsur radioaktif, kecuali tritium, yang merupakan isotop hidrogen yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Jepang juga berencana untuk mencairkan air limbah tersebut hingga mencapai tingkat tritium yang sesuai dengan standar internasional sebelum membuangnya ke laut.
Namun, rencana Jepang ini mendapat tentangan dari sejumlah pihak, termasuk negara-negara tetangga seperti China dan Korea Selatan, kelompok lingkungan seperti Greenpeace, serta nelayan dan warga lokal yang khawatir akan dampak jangka panjang dari pembuangan air limbah tersebut terhadap ekosistem laut dan industri perikanan. Mereka menuntut Jepang untuk mencari alternatif lain yang lebih aman dan bertanggung jawab.
Untuk menanggapi rencana Jepang tersebut, IAEA telah membentuk sebuah tim ahli internasional yang akan mengunjungi PLTN Fukushima Daiichi pada bulan Oktober 2023. Tim ini akan melakukan penilaian teknis dan ilmiah terhadap proses pembuangan air limbah tersebut, serta memberikan rekomendasi dan saran kepada Jepang untuk memastikan bahwa pembuangan tersebut dilakukan sesuai dengan standar keselamatan nuklir internasional. Tim ini juga akan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, komunitas lokal, dan organisasi non-pemerintah, dalam proses penilaian tersebut.