Perubahan Iklim Berdampak pada Produksi Pangan, Ini Buktinya!

23 Oktober 2022, 18:58 WIB
PENGUNJUNG mengamati pameran foto bertajuk "Krisis Iklim dari Meja Makanmu", di Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakaf Timur, Kabupaten Bandung, Minggu, 23 Oktober 2022. Pameran tersebut merupakan rangkaian kegiatan tur sepeda Chasing The Shadow yang dilakukan sebagai bukti nyata krisis iklim /Ade Bayu Indra/Berita KBB/

BERITA KBB - Setelah _kick off_ di Jakarta lalu menyinggahi Marunda dan Muara Gembong, tim pesepeda sampai di Bandung dan akan membagikan pengalaman mereka selama perjalanan Jakarta-Bandung.

Di Bandung, kota yang khas dengan beragam kulinernya ini, Chasing The Shadow akan mengangkat tema bagaimana pengaruh krisis iklim terhadap bahan makanan kita. Acara serupa di Jakarta seperti pameran dan _workshop_ juga akan berlangsung di Bandung. 

Kali ini beragam komunitas akan dihadirkan seperti Rumah Bintang, Solar Generation, Suar Nusantara, Solidaritas Melawan Penggusuran, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Sinopsis Bintang Samudera, Minggu 23 Oktober 2022 Andra Mencoba Bunuh Diri!

Bertempat di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, sebagian gelaran ini akan menggunakan tenaga surya sebagai sumber energi listrik.

Krisis iklim ternyata akan mempengaruhi ketahanan pangan kita di masa depan. Berdasarkan pernyataan BMKG, meningkatnya jumlah bencana hidrometeorologi yang diperparah oleh krisis iklim, seperti banjir, kekeringan, curah hujan ekstrem, longsor, siklon tropis, dan kejadian ekstrem lainnya, akan semakin mengancam ketahanan pangan di berbagai wilayah Indonesia.

Berbagai fenomena cuaca ekstrem ini akan mengganggu kegiatan pertanian dan perikanan, bahkan mengancam produktivitas hasil panen dan tangkap ikan. 

Baca Juga: Yura Yunita Hapus Make Up Saat Perform di Women's Day Out, Tampil Percaya Diri Tanpa Riasan Wajah

Sebagai contoh, berdasarkan penelitian dari Journal of Agricultural Meteorology, produktivitas tanaman padi Ciherang–salah satu jenis padi mayoritas yang ditanam di Indonesia–akan menurun hingga 30% dalam 20 tahun mendatang dibandingkan dengan panen 1998-2002.  

Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, Hardian Eko Nurseto mengatakan, dampak krisis iklim terhadap penurunan produksi pangan mungkin tak langsung terasa. Sebab, saat ini bahan pangan masih bisa setiap waktu diperoleh di pasar dan supermarket. 

“Namun, bagaimana dengan nelayan yang tidak bisa melaut karena gelombang tinggi, petani yang menunggu hujan untuk mulai menanam padi karena sawahnya mengering? Sebaliknya, petani cengkeh menangis karena hujan yang tak henti mengakibatkan gagal panen,” kata pengajar bidang kajian makanan dan kebudayaan ini.

Baca Juga: Harga Tiket Konser Boyband 'BLUE' di Jakarta, Catat Waktunya!

Artinya, kata Seto–sapaan Hardian, perubahan iklim bakal berdampak pada produksi pangan. Terganggunya produksi pangan niscaya berimbas pada pola konsumsi manusia. “Saatnya kita bergerak dan beradaptasi untuk produksi pangan yang berkelanjutan,” ujarnya.

Bukan cuma padi, produksi kopi pun bisa terganggu akibat krisis iklim. Laporan Stockholm Environment Institute mencatat, kopi Arabica berpotensi mengalami penurunan produktivitas hingga 45% akibat suhu yang kian menghangat.

“Kalau rasa kopi dalam cangkirmu sudah berbeda, jangan salahkan petani, hujan, dan alam semesta. Salahkan diri kita sendiri di kehidupan sebelumnya. Manusia itu akan menuai apa yang ditanam,” ujar Farida Dwi, inisiator Lady Farmer Coffee Roastery–komunitas di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang beranggotakan perempuan petani kopi.

Baca Juga: Yura Yunita Bagikan Cerita Dengan 'Batik Air', Kejadian Mirip Dengan Ari Lasso

Di zaman kini, pemenuhan kebutuhan pangan pun harus dipahami dapat menjadi penyumbang emisi karbon dan menyebabkan krisis iklim. Mulai dari proses produksi, pendistribusian, penyajian, hingga penyelesaian sisa makanannya.

“Sebagai anak muda yang tidak punya banyak kuasa dalam pengambilan kebijakan, kami hanya mengupayakan apa yang kami bisa lakukan, salah satunya mendorong penggunaan energi bersih dalam proses produksi pangan, seperti yang kami lakukan di Purbalingga dan Kulonprogo yaitu dengan menggunakan solar panel,” ungkap Gina Gegana Saleha dari Komunitas Solar Generation. “Solusi dari krisis iklim sebenarnya sudah ditemukan, sudah tersebar dan mayoritas orang di dunia tahu akan hal ini, namun untuk melakukannya butuh tindakan yang nyata daripada sekedar paham.”

Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, sektor energi akan menjadi penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia pada tahun 2030 mendatang.

Baca Juga: Salshadilla Anak Iis Dahlia, Mengunggah Momen Lesti Kejora Perform: you are so loved..

Untuk itu, diperlukan aksi iklim yang nyata dan ambisius terutama pada sektor energi untuk mengurangi dampak krisis iklim. Berkaitan dengan hal ini, panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan perubahan iklim dari seluruh dunia (IPCC) menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80% PLTU batubara pada 2030, dan meninggalkan batubara secara total di tahun 2040, jika tidak ingin terjebak dalam krisis iklim. 

Negara-negara di seluruh dunia harus segera meninggalkan energi fosil dan melakukan transisi energi untuk menekan laju perubahan iklim. Sayangnya, di saat tren global melakukan transisi energi secara masif, Indonesia masih tak bisa lepas dari ketergantungan terhadap batubara. Transisi energi yang dilakukan juga masih setengah hati dengan tetap membangun 13,8 GW PLTU batubara baru, yang sebagian besar akan dibangun di Pulau Jawa, termasuk Jawa Barat. 

Di sisi lain, keberadaan PLTU batubara juga menyumbang polusi udara tinggi dan banyak kerusakan lingkungan lainnya, khususnya bagi ekosistem pesisir pantai. Dominasi batubara menunjukkan bahwa relasi kekuasaan dan pebisnis telah berkelindan, serta menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang hanya menguntungkan sekelompok elite.

Baca Juga: Menko PMK Mengimbau Masyarakat Untuk Setop Sementara Pemberian Obat Sirop Anak - Anak!

Krisis iklim bukanlah proyeksi di masa depan karena sudah terjadi saat ini dan kita semua sudah merasakan dampaknya, bahkan telah mengancam sejumlah bahan pangan kita.

“Tidak ada satu pun wilayah di dunia yang bisa lolos dari ancaman krisis iklim, termasuk Indonesia. Pilihan-pilihan kita akan gaya hidup, jenis energi yang kita gunakan, dan juga sistem ekonomi telah membawa dampak kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Aksi individu penting untuk dilakukan. Namun, itu tidak cukup untuk mengatasi situasi krisis iklim saat ini. Diperlukan perubahan skala besar yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dibuat,” ucap Adila Isfandiari, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. 

Indonesia memiliki potensi energi bersih dan terbarukan seperti surya, angin dan air yang melimpah dan biayanya semakin bersaing dengan energi fossil. “Pemerintah harus segera melakukan aksi iklim nyata dan serius. Tak ada alasan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak mempercepat transisi energi yang berkeadilan sebagai solusi untuk keluar dari krisis iklim,” tutupnya.***

Editor: Ade Bayu Indra

Tags

Terkini

Terpopuler