Kenapa Adblock Menjadi Bumerang Untuk Pemilik dan Pengiklan di Media Sosial?

9 Februari 2023, 17:58 WIB
Ilustrasi Instagram: Cara menyembunyikan status online di Instagram /Pixabay

BERITA KBB-Bayangkan ketika Anda sedang membuka artikel memasak sembari duduk menunggu bus, bersama desakan ramai orang-orang di kanan-kiri, seketika justru muncul iklan penis di layar ponsel Anda. Kira-kira bagaimana reaksi Anda?

Dalam bayangan Anda, mungkin tampak pandangan menghujat dan cemooh dilayangkan kepada Anda. Namun percayalah, bahwa diam-diam mereka mungkin tersenyum maklum. Karena 14 dari 15 penumpang di halte tersebut ternyata jua pernah mengalami hal serupa.

Nyatanya, kasus si iklan penis adalah satu dari sekian variasi iklan intrusif atau iklan serobot yang merajalela. Iklan ini memang berniat sengaja menyerobot situs tujuan Anda, ia ialah perwujudan parasit di situs yang ia tumpangi, dan merupakan hama di era media digital.

Baca Juga: Spoiler Manga One Piece 1074 Morgans Coba Benturkan Luffy dan Pemerintah Dunia dengan Kekuatan Judul Beritanya

Praktik iklan intrusif sejatinya telah ditolak oleh para pelaku industri iklan digital yang tergabung dalam enam asosiasi.

Asosiasi tersebut adalah idEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia), IDA (Asosiasi Digital Indonesia), APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia), AAPAM (Association of Asia Pacific Advertising Media), dan P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia).

Tidak jarang konten-konten yang ditampilkan dari iklan ini memuat gambar yang vulgar atau mengarah ke perjudian (Nistanto, 2014). Menurut idEA dan IDA, format iklan serobot mempunyai dua bentuk, interstitial ads dan off-desk ads.

Jenis pertama biasa ditayangkan sebelum pengguna masuk ke laman situs yang dituju, atau disebut juga between-the-page. Sedangkan, off-desk ads akan tampil di bagian atas dan menutupi sebagian halaman sebuah situs (Paramita, 2014).

Baca Juga: Sinopsis Suami Pengganti Hari Ini Kamis 9 Februari 2023: Celine Berani Ungkap Isi Hatinya Pada Saka

Dahulu, sering saya jumpai kedua jenis tersebut yang umum dilakukan oleh operator-operator seluler, seperti operator besar layaknya Telkomsel atau XL. Sementara, untuk membuat iklan tersebut hilang harus rela menunggu hingga lima detik sampai akhirnya dapat diskip.

Wang dan Calder (2006) yakin iklan pengganggu justru akan mengurangi evaluasi merek yang diiklankan. Ini setidaknya penulis rasakan ketika iklan Telkomsel terus-menerus muncul di artikel Uzone.id, produk tersebut kontan menjadi bagian simbol yang menyebalkan.

Jadi, jangan heran dengan hadirnya iklan pengganggu seketika menjadi polusi visualisasi media digital yang mencederai kenyamanan netizen dalam berselancar di dunia daring.

Melalui data dari HubSpot Adblock Plus Research Study (2016), tentang “Mengapa Anda Menggunakan Ad Blocker?” ditemukan hasil sebanyak 64% dari 731 pengguna AdBlocker di Inggris, US, Jerman, dan Prancis kesal dengan iklan-iklan yang mengganggu. 33% lainnya merasa tersinggung dengan konten iklan yang tidak pantas.

Baca Juga: Alyssa Daguise Gandeng Pacar Baru, Usai 'Move On' Dari Al Ghazali, Inilah Sosok Sang Kekasih

Alasan-alasan itu karena iklan sering kali mengganggu aktivitas pengguna, atau karena masalah keamanan, mengurangi pemakaian transfer data, masalah privasi, karena iklan-iklan bisnis, dan alasan ideologis.

Penggunaan Adblock menjadi bumerang untuk pemilik situs dan pengiklan di media sosial

Pengalaman buruk dari iklan intrusif memberikan peluang manjur bagi AdBlock untuk tampil sebagai penyelamat dalam wujud ekstensi, AdBlock menawarkan penyaringan konten dan pemblokiran iklan sumber terbuka untuk situs, Google Chrome, bahkan Apple Safari.

Selain itu juga memungkinkan para pengguna mencegah munculnya elemen situs tertentu seperti iklan (JavaScript).

Nyatanya, perangkat lunak AdBlock hampir memblokir semua iklan di halaman situs secara default, terlebih kebanyakan plug-in aplikasi ini tidak mengharuskan pengguna untuk membuat keputusan memblokir iklan secara individual.

Berdasarkan tingkat penggunaan AdBlock yang diperoleh PageFair (2017), Indonesia disebut memiliki tingkat penggunaan paling tinggi di seluruh dunia dengan persentase 58%.

Keberadaan ad block memang menjadi penawar akan keresahan dan kelelahan netizen, namun pula di sisi lain berimbas besar pada pemilik situs dan pengiklan yang taat mengedarkan iklannya.

Sebab meski ekstensi browser ini gratis untuk memblokir iklan, beberapa ekstensi tidak memblokir semua iklan, melainkan beroperasi dengan apa yang mereka sebut sebagai “iklan yang dapat diterima” atau white-listed, yang membuat industri penerbitan dan iklan harus membayar kembali kepada AdBlock agar iklannya masuk ke daftar putih.

Greenberg menjelaskan bagaimana model bisnis adblock sebetulnya tidak jauh berbeda dari model yang digunakan penerbit dan pengiklan untuk menghasilkan uang di situs.

Jenis dan cara kerja adblock

Karena setidaknya ada empat jenis aplikasi pemblokiran yaitu, pertama: Ad Block yang memblokir hampir setiap jenis iklan dan pelacak seperti Privacy Badger, pemblokir nirlaba yang dioperasikan oleh Electronic Frontier Fondation; tidak mengambil keuntungan tetapi bergantung pada donasi serta jasa koding.

Kedua ada AdBlock Plus yang telah dibahas, bahwa ekstensi ini memang secara gratis memblokir iklan, namun “taktiknya” mengharuskan beberapa industri lain untuk membayar agar mereka dimasukan ke dalam daftar putih.

Ketiga adalah Ghostery, aplikasi pemblokiran yang mendapat untung dari menjual data penggunanya dalam bentuk anonim kepada penerbit, situs, dan perusahaan. Hasil keuntungan dikembalikan untuk membantu kecepatan, privasi, dan kinerja situs mereka.

Meski begitu, pengguna Ghostery dapat memilih apakah mereka ingin data mereka dibagikan atau tidak. Keempat, hadir pemblokiran iklan berbayar seperti Disconnect dan 1Blocker, yang memungkinkan Anda untuk mengunduh layanan, tetapi perlu mengeluarkan biaya pada pilihan tertentu.

Dengan keempat jenis pemblokiran iklan di atas, implementasi ini berubah entitas membentuk bumerang yang melibas siapapun di ruang lingkupnya. Google bahkan dikabarkan sudah mengeluarkan US$ 887 juta pada tahun 2012 lalu supaya iklannya masuk daftar putih AdBlocker (Stampler, 2013).

Akibat pemakaian AdBlock yang meningkat tajam, beberapa penerbit mengalami kerugian terhadap pendapatan mereka, contohnya PewDiePie alias Felix Kjellberg, dia seorang kreator konten mengatakan jika sofware ad block telah merenggut 40% pendapatannya dari situs, padahal para pemilik kanal Youtube mendapatkan penghasilan dari penayangan iklan tersebut (Hoetomo, 2015).

Karenanya bila Anda perhatikan, akan banyak pemilik situs meminta supaya Anda mau menonaktifkan atau memasukan mereka ke dalam daftar putih ekstensi AdBlock yang Anda gunakan.

Biar bagaimanapun, esensi iklan mesti dipahami sebagai sebab utama keberlangsungan free access bagi kaum mendang-mending.

Hikmahnya atas polemik yang sudah berlangsung lama ini, setidaknya dapat memberi tekanan besar kepada para pengiklan terutama menuntut inovasi lebih untuk mewujudkan arti iklan yang mampu membersamai dan melebur damai dalam aktivitas target audiensnya.***

Editor: Miradin Syahbana Rizky

Tags

Terkini

Terpopuler