Tidak berhenti sampai disitu, Abu Bakar melanjutkan wasiatnya, “Maka kalau kamu memelihara wasiatku ini, tidaklah ada permasalahan tersembunyi yang kamu sukai dari pada kematian.”
“Dan kematian itu pasti terjadi pula pada dirimu. Jika kamu menyia-nyiakan wasiatku ini, maka sesuatu yang tersembunyi itu lebih kau benci dari kematian.”
Said bin Al-Musayyad berkata, “Ketika Abu Bakar hampir wafat, maka ia didatangi oleh banyak sahabat, dan mereka berkata, “Wahai Khalifah berilah kami bekal, sesungguhnya kami melihatmu karena apa yang ada pada dirimu (akhlakmu).”
Abu Bakar berkata, “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat-kalimat Alloh, kemudian ia mati, maka ruhnya berada di ufuk yang nyata.”
Mendengar penjelasan dari Abu Bakar, para sahabat mengajukan pertanyaan, “Apakah ufuk yang nyata itu? Abu Bakar menjawab, “Tanah rata dan halus di hadapan ‘Arsy, yang padanya ada taman-taman Alloh, sungai-sungai dan pepohoan yang diselimuti 100 rahmat di setiap harinya.”
Dan tak lama kemudian, terdengar ucapan lafadz ‘Laailaahaillallaah.’
Suasana menjadi hening, tidak ada seorangpun yang mampu mengucapkan kata-kata.
Nafas telah terhenti, detak jantung tidak berdenyut lagi, sang Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu`anhu telah pergi meninggalkan dunia.