"Secara bertahap kita akan melakukan transfer teknologi pada para peternak agar bisa mengoperasikan bio gester dengan baik. Sehingga ketika terjadi permasalahan langsung bisa diatasi oleh mereka sendiri," kata Yanus.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (P2KL) pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) KBB, Idad Saadudin, mengapresiasi program pengabdian kepada masyarakat dari ITB tersebut. Selain memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat juga menjadi solusi untuk pemecahan persoalan kohe.
"Saya berharap tidak hanya di Babakan Ampera saja, tapi juga dibeberapa tempat lainnya di Lembang Raya dibangun bio gester. Mengingat populasi sapi perah mencapai 19 ribuan ekor. Dimana satu ekor sapi menghasilkan kohe sekitar 10 kilogram per hari," kata Idad.
Menurutnya, penangan kohe tidak hanya bergantung kepada pemerintah, tapi juga melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti yang dilakukan LPPM ITB, FPLH, dan PT Aimtopindo Nuansa Kimia.
"Keuangan pemerintah sangat terbatas, sehingga kepedulian dari elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk menuntaskan persoalan limbah kohe," tuturnya.
Ketua Tim Unit Budidaya Maggot dari Fakultas Teknik Industri ITB, Tirto Prakoso di tempat yang sama mengatakan, maggot yang berasal dari larva lalat sebenarnya sudah lama dimanfaatkan hanya saja belum banyak digunakan. Maggot memiliki sumber protein yang tinggi untuk ternak, ayam, bebek, burung dan ikan.
Sebelumnya, kata Tirto, pemanfaatan kotoran sapi yang dimanfaatkan untuk produksi maggot baru kali ini dicoba. Hasilnya menurut Tirto cukup baik dan prosesnya cukup mudah.
”Kotoran yang sudah stabil, yang baunya sudah berkurang disatukan dengan makanan maggot untuk membesarkannya, biogasnya juga digunakan untuk memanaskan maggot. Pemanasan ini bertujuan untuk mengeringkan maggot, karena maggot yang kering harganya lebih tinggi ketimbang maggot yang basah, yaitu dua juta rupiah per kuintal untuk yang kering dan 400 ribu rupiah untuk maggot basah,” kta Tirto.