Mengenal Macam-Macam Toxic Masculinity, Hingga Stigma Laki-Laki Tidak Boleh Menangis

- 3 Juni 2022, 18:10 WIB
Mengenal Macam-Macam Toxic Masculinity, Hingga Stigma Laki-Laki Tidak Boleh Menangis
Mengenal Macam-Macam Toxic Masculinity, Hingga Stigma Laki-Laki Tidak Boleh Menangis /Pixabay.com/esudroff
 
BERITA KBB – Toxic Masculinity merupakan suatu anggapan yang salah kaprah tentang bagaimana seorang laki-laki harus bersikap. Misalnya anggapan laki-laki tidak boleh menangis.
 
Tentu anggapan tradisional mengenai maskulinitas seperti ini bisa mendorong perilaku negatif di tempat kerja,” ungkap Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), dalam rilisnya kepada media belum lama ini.
 
Dampak dari toxic masculinity adalah adopsi perilaku negatif pada laki-laki yang berbahaya bagi perempuan, masyarakat maupun laki-laki itu sendiri. 
 
 
 
Bentuk adopsi perilaku negatif ini bisa berupa tampilan dominasi yang tak diinginkan, pengambilan risiko yang tak bertanggung jawab, dan kebencian terhadap perempuan. 
 
Lebih lagi, perilaku yang negatif ini dapat tertanam dalam bawah sadarnya. 
Namun pada nyatanya hidup di tengah masyarakat memanglah tidaklah mudah. 
 
Banyak macam tuntutan dari masyarakat yang terkadang tak selamanya mampu kita penuhi dan tak seharusnya pula untuk kita turuti.
 
 
 
Ada kesehatan mental yang perlu dijaga, ada batin yang harus tetap tenang dan nyaman untuk bisa bertahan. 
 
Apalagi untuk para laki-laki, stigma yang terlanjur menjamur membuat mereka kehilangan ruang gerak untuk bernapas lebih bebas dalam menikmati kehidupan dan mengekspresikan apa yang ia rasakan.
 
Mereka terkekang, di hukum oleh keadaan yang tidak ia inginkan. Salah satunya adalah adanya toxic masculinity yang masih eksis di tengah masyarakat. 
 
 
 
Berikut macam-macam toxic masculinity yang masih menjamur di tengah masyarakat. 
 
1. Harus lebih sukses dari perempuan 
 
Pandangan satu ini kerap melabeli para laki-laki. Mereka dituntut untuk bisa memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada perempuan sebagai bentuk harga diri mereka. 
Padahal harga diri tidak ditentukan dari seberapa banyak penghasilan laki-laki, tetapi harga diri laki-laki ditentukan oleh bagaimana ia bertanggungjawab atas kehidupan yang telah dipilihnya.
 
2. Laki-laki tak boleh cengeng 
 
Stigma ini seperti sudah mengakar sejak anak laki-laki lahir ke bumi. Mereka di didik untuk bisa bermental kuat, tidak mudah menangis dan mengeluh. 
Akhirnya hal ini terbawa hingga ia dewasa dan menjadi sebuah stigma yang ia benarkan dan ia turunkan kepada keturunannya pula. 
 
Padahal laki-laki juga sama-sama manusia biasa yang memiliki batas titik lemah dan ketidakmampuan dalam menahan perasaannya. 
Jadi, layak untuk para laki-laki untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan karena hal itu adalah bentuk ekspresi yang wajib diluapkan. 
 
3. Harus mandiri 
 
Laki-laki harus mandiri dalam berbagai hal, tidak boleh menyusahkan orang lain. Harus berdiri di atas kaki sendiri apapun keadaannya. 
Padahal, wajar apabila laki-laki meminta bantuan pada orang lain karena tak semua hal bisa dilakukan seorang diri. Mandiri wajib, tapi bukan berarti tidak meminta pertolongan sama sekali kepada orang lain ketika tidak mampu berjalan sendirian. 
 
Lalu IBCWE meluncurkan hasil survei mengenai toxic masculinity yang dilakukan pada Februari 2022 guna memotret peran maskulinitas salah kaprah dalam dinamika kesetaraan gender di tempat kerja. 
 
“Survey ini memetakan 10 toxic masculinity yang ada di dunia kerja di Indonesia dan kebanyakan responden setuju dengan adanya maskulinitas salah kaprah ini. Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki standar yang sulit dicapai oleh laki-laki. Standar yang tidak dapat dicapai inilah yang bisa mendorong perilaku atau atau budaya kerja yang negatif. Seperti misalnya budaya kerja saling sikut, mendahulukan pekerjaan atau tidak pernah mengakui kesalahannya," ungkap Maya Juwita. 
 
Hasilnya, sebanyak 91 persen responden tidak setuju apabila laki-laki tidak memerlukan teman curhat, lalu diikuti oleh 88 persen yang tidak setuju kalau laki-laki tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, laki-laki harus lebih dominan dari perempuan dalam segala hal sebanyak 80%, serta laki-laki tidak perlu mengurus rumah tangga dan mengasuh anak sebanyak 95% responden yang tidak setuju. 
Hal ini menampik anggapan sosial bahwa tugas domestik hanya dilakukan oleh perempuan. 
 
Selain itu, pernyataan setuju oleh responden tercatat ada 81 persen pada pernyataan secara fisik dan mental laki-laki harus kuat, kemudian laki-laki lebih pantas untuk melakukan pekerjaan berat atau fisik sebanyak 62%, dan laki-laki dinilai harus selalu bisa mengambil keputusan dalam pekerjaannya diamini 71% responden. 
 
IBCWE melakukan survei cepat ini pada 896 orang selama bulan Februari 2022. Responden tersebut terbagi atas 532 perempuan (59,4%), 362 laki-laki (40.4%), dan 2 orang yang tidak menyebutkan jenis kelaminnya (0,2%). Sebagian besar responden berusia 25-34 tahun, yaitu sebanyak 311 orang. 
 
Dari total 535 responden yang mengaku menikah, sebanyak 237 di antaranya adalah laki-laki (65%), sebanyak 297 adalah perempuan (56%), dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya. 
Dari sisi pendidikan, sebagian besar responden yang berjumlah 498 orang merupakan sarjana, di mana 210 orang (58%) di antaranya laki-laki, dan 288 responden (54%) merupakan perempuan. 
 
Responden yang mengaku bekerja sebagai karyawan swasta mencapai 491 orang di mana 206 orang (57%) merupakan laki-laki, 284 orang (53%) adalah perempuan, dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya.***
 

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x