Tiongkok Gunakan Big Data untuk Tangkap Muslim Turki, HRW: Pemerintah Berhutang Jawaban pada Korban

9 Desember 2020, 21:02 WIB
Beijing Meradang, Australia Tuding China Pelanggar HAM di Xinjiang /Xinjiang Bureau of Justice WeChat Account

BERITA KBB-Belum lama ini, Human Rights Watch ‘organisasi hak asasi manusia’ melaporkan bahwa sebuah program big data telah dirilis di Xinjiang, Tiongkok. Program ini ditujukkan, secara sewenang-wenang, untuk menangkap warga Muslin yang kedapatan mengenakan cadar, belajar Al-Qur’an atau menunaikan ibadah haji.

Dalam laporan terbarunya, pada hari Rabu 9 Desember 2020, HRW menganalisis lebih dari 2.000 kebocoran data para tahanan di Kota Aksu, Xinjiang. Selain itu, HRW juga menemukan bahwa program yang juga disebut dengan istilah Integrated Joint Platform (IJOP) itu telah menandai orang-orang yang saling berhubungan, berkomunikasi, memiliki riwayat perjalanan, atau tanda-tanda yang mencurigakan lainnya bagi pihak berwenang.

Dari data Aksu, disampaikan HRW, terlihat bagaimana Tiongkok dengan brutal menindas Muslim Turki Xinjiang.

Baca Juga: Posting Kemenangan di Pilkada Kabupaten Bandung, Sahrul Gunawan: Semoga Jadi Wasilah Perubahan

Baca Juga: Demi Trik Marketing, Atta dan Aurel Hermansyah Hebohkan Undangan Tanggal Cantik 12.12, Nikah?

“Daftar Aksu memberi informasi mengenai bagaimana penindasan brutal pihak Tiongkok terhadap Muslim Turki tengah digencarkan oleh teknologi,” tutur Maya Wang, peneliti senior HRW berdarah Tiongkok, seperti dikutip Berita KBB dari Al Jazeera, Rabu 9 Desember 2020.

“Pemerintah Tiongkok berhutang jawaban pada keluarga (tahanan) yang ada dalam daftar. Mengapa mereka ditahan dan di mana mereka sekarang?”, lanjut Maya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan terdapat lebih dari satu juta Muslim Turki, yang mana kebanyakan dari mereka adalah etnis Uighur, telah ditahan di kamp-kamp Xinjiang Barat. Para aktivis menuding bahwa penahanan itu bertujuan untuk menghapuskan identitas etnis dan agama Muslim Turki. Juga, untuk memastikan kesetian mereka terhadap pemerintah Tiongkok.

Baca Juga: Capricorn, Aquarius, dan Pisces, Inilah Ramalan Zodiakmu Besok 10 Desember 2020

Baca Juga: Libra dan Scorpio Sedang Diterpa Masalah, Inilah Ramalan Zodiak Besok 10 Desember 2020

Namun, Beijing menampik tudingan tersebut dan menyebut kamp tersebut sebagai pusat pelatihan kejuruan yang betujuan untuk menumpas ekstrimisme agama di provinsi yang bermasalah tersebut.

HRW mengatakan bahwa daftar Aksu pada tahun 2018 menunjukkan bukti lebih lanjut mengenai peran big data. Sementara itu, teknologi membantu pejabat memilih target dalam melakukan “transformasi pemikirian”. Awal tahun ini, para pendukung muslim membuktikan bahwa otoritas pemerintah di Karakax menggunakan aplikasi IJOP untuk menentukan apakah seseorang harus ditahan atau tidak. Sayangnya, salah seorang pejabat di sana menepis laporan tersebut dan menyebutnya sebagai laporan palsu.

Di sisi lain, HRW mengklaim telah memperoleh daftar data pengguna IJOP dari seorang narasumber di Xinjiang, yang identitasnya tidak disebutkan. Tak hanya itu, HRW juga telah memvalidasi keabsahan daftar tersebut dengan memeriksa jejak data resmi, jejak media sosial, dan berkonsultasi dengan diaspora Uighur, serta dua orang ahli yang mendokumentasikan tindak kekerasan di Beijing, Xinjiang.

Baca Juga: Pilkada Kabupaten Bandung 2020, Nia-Usman dan Dadang-Sahrul Saling Klaim Kemenangan

Baca Juga: Kalem Banget! Ini Jawaban Putri Anne Ketika Ditanya Arya Saloka Selingkuh Dengan Amanda Manopo

Sebagai contoh, disampaikan HRW, seorang tahanan berinisal Nona “T” ditahan lantaran IJOP menandainya telah melakukan kontak ke negara-negara yang dinilai sensitf. Berdasarkan data, Nona “T” telah menerima empat panggilan dari nomor asing pada Maret 2017. Berdasarkan keterangan HRW, nomor tersebut merupakan milik kakak Nona “T”.

Kakak Nona "T" bersaksi bahwa polisi Xinjiang telah menginterogasi dan menahan adiknya sesaat setelah data (panggilan) tersebut terekam. Lalu, polisi banyak bertanya tentang kakak Nona “T” karena ia tinggal di luar negri.

Sejak saat itu, kepada HRW, kakak Nona “T” bercerita bahwa ia tak memiliki kontak langsung dengan keluarganya di Xinjiang. Ia sempat mendengar kabar bahwa adiknya saat ini bekerja di pabrik selama lima hari dan diizinkan pulang hanya pada akhir pekan saja. Namun, ia meyakini bahwa adiknya itu telah dipaksa bekerja di pabrik dan dilatih untuk karir yang berbeda dari sebelum dia ditahan.

Kasus lain terjadi pada seorang pria yang ditahan karena mempelajari Al-Qur’an pada pertengahan 1980-an. Ia juga membiarkan istrinya mengenakan jilbab pada awal tahun 2000. Selain itu, kasus lain terjadi pada seorang wanita yang ditahan karena bepergian ke luar wilayah Aksu. Ia pernah pergi ke Kashagar dan menginap di Hotan pada tahun 2013.

Baca Juga: Pilkada Kabupaten Bandung, Bedas Unggul Sementara 56%, NU Pasti 30%, Yena-Atep 12,75%

Baca Juga: Maaf.. Jalur Pendakian Gunung Gede Pangrango, Cianjur, Ditutup Karena Cuaca Ekstrem

HRW mengungkap sekitar 10 persen, atau lebih dari 200 orang dalam daftar Aksu ditahan karena terorisme dan ekstrimisme. Namun, pihak berwenang justru menuduh para tahanan ini telah melakukan tindakan pengahasutan, perencaan, dan mendukung kekerasan. Alasan lain untuk menangkap seseorang yakni penggunaan perangkat lunak, seperti jaringan pribadi virtual (VPN), Skype, atau aplikasi Zapya.

HRW menegaskan bahwa sebagaian besar orang-orang ditandai dan ditahan atas hal-hal yang sebetulnya tidak menyalahi aturan dan tanpa kekerasan. Dengan kata lain, IJOP benar-benar suatu trik yang dikemas secara ilmiah untuk menjustifikasi penindasan secara brutal oleh pihak Tiongkok terhadap Muslim Turki.

HRW mencatat IJOP juga digunakan di luar Xinjiang. Sebuah dokumen pada Januari 2020 melaporkan bahwa Grup Teknologi Elektronik Cina (CETC) yang menaungi IJOP telah membangun sistem yang sama di Yinchuan, Ibu Kota Provinsi Ningxiam di mana wiayah ini memiliki etnis Hui dan minoritas Muslim. ***

 

Editor: Miradin Syahbana Rizky

Sumber: Aljazeera

Tags

Terkini

Terpopuler