Khutbah Jumat Singkat, Kehidupan Toleransi Muslim Dan Non Muslim Sejak Kepemimpinan Dinasti Umayyah

- 8 Juli 2022, 13:06 WIB
dzimmi berasal dari bahasa arab, Ahlul dzimmah, artinya orang non-muslim yang hidup merdeka dalam negara Islam.
dzimmi berasal dari bahasa arab, Ahlul dzimmah, artinya orang non-muslim yang hidup merdeka dalam negara Islam. /ANTARA/Genta Tenri Mawangi
 
 
BERITA KBB - Kehidupan toleransi muslim dan non muslim sudah terbina sejak kepimpinan Dinasti Umayyah di  Spanyol, di bawah Abdurrahman III. Toleransi  kepemimpinan Abdurrahman III, membuat non mulim atau ahlu dzimmi mendapatkan hak-hak sebagai warga negara.
 
Secara istilah, dzimmi berasal dari bahasa arab, Ahlul dzimmah, artinya orang non-muslim yang hidup merdeka dalam negara Islam. Mereka sama posisinya, sebagai warga negara. Kewajiban yang dibebankan juga sama, seperti membayar pajak, mendapatkan keamanan dan perlindungan sebagai warga negara.
 
Dalam konteks keindonesiaan, ahli dzimmi dipahami sebagai warga non-muslim, seperti masyarakat Kristen, Hindu, Budha, atau aliran kepercayaan dan agama yang lain. Hidup di tengah mayoritas masyarakat Islam, mereka memiliki hak untuk merasakan ketenangan, kedamaian, mendapatkan perlindungan sebagai warga negara.
 
 
Melalui perspektif yang lebih luas, membangun kehidupan yang damai, di tengah keberagaman, tidaklah mudah. Sebab upaya yang dilakukan adalah, bagaimana menyatukan banyak sekali perbedaan, menetapkan kebijakan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan, dan pelbagai pertimbangan yang lain.
 
Namun, di bawah kepemimpinan ‘Abd Rahman III (Abdurrahman III), ketika dinasti Umayyah berkuasa di Andalusia, ahlu dzimmi memiliki ruang yang sangat luas untuk hidup yang sama seperti masyarakat muslim pada umumnya.
 
Perlu dipahami bahwa, dinasti Umayyah pada awalnya berpusat di Damaskus. Kekuasaan di tempat tersebut runtuh ketika khalifah Marwan II, kalifah ke-14 dinasti Umayyah Dmaskus, dikalahkah oleh pasukan Abbasiyah di pertempuran Zab Hulu.
 
 
Setelah peristiwa itu, semua penguasa dinasti Umayyah melarikan diri. Namun, keturunan dari Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil melarikan dirinya ke Afrika Utara dan menyebar ke Spanyol, tepatnya di Andalusia.
 
Melalui kondisi inilah kemudian, dinasti Umayyah kembali berkuasa dengan memusatkan pemerintahannya di Cordoba (Arip Septialona, Perkembangan Islam Di Andalusia Pada Masa Abdurrahman Iii (An-Nashir Liddinillah, ‪912-961‬ M) “Tamaddun” Vol. 4 no. 1. Thn. 2016).
 
Pada masa ini, dinasti Umayyah mulai membangun kembali kekuasaan, memperluas wilayah kekuasaan, serta mengalami masa keemasan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, disertai kebijakan yang inklusif untuk rakyatnya yang heterogen.
 
 
Pada masa ini, Islam di Andalusia melahirkan beberapa tokoh terkenal seperti: Ibnu Rusyd sebagai tokoh filsafat, Al-Zarqali dan Al-Bitruju sebagai tokoh matematika, Ibnu Zuhr sebagai ahli fisika.
 
Sumbangan sains Islam, juga ada banyak, diantaranya: Az-Zahrawi, di bidang anatomi dan pembedahan. Ibnu Nafis melalui penemuannya tentang peredaran darah manusia dan Ibn Baitar tentnag tumbuhan Herba (Fadlil Munawwar Manshur, Pertumbuhan Dan Perkembangaan Budaya Arab Pada Dinasti Umayyah,’ “Jurnal Humaniora” vol. 15. No. 2 thn. 2003).
 
Salah satu khalifah yang bernah berkuasa pada dinasti Umayyah di Andalusia adalah Abdurrahman III. Ia merupakan penguasa paling berpengaruh  pada dinasti Umayyah di Andalusia. Ia memiliki gelar khalifah an-nashir li Dinillah, yang artinya, khalifah penolong agama Allah.
 
 
Ia berkuasa salaam 49 tahun (‪912-961‬ M), kemudian meninggal pada bulan Oktober 1961 yang bertepatan pada bulan Ramadhan 350 H, pada rentang umur 72 tahun (Havis Aravik dan Ahmad Tohir, Perekonomian Pada Masa Dinasti Umayyah Di Andalusia; Sejarah Dan Pemikiran, “Adl Islamic Economic,”Vol. 1 No. 1 thn. 2020).
 
Sosok Abdurrahman III adalah orang yang toleran. Dalam menyikapi keberadaan ahlu dzimmi, ia memberikan kebebasan kepada mereka untuk terlibat dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Ia juga memperbolehkan para ahlu dzimmi ikut menjalankan aktifitas politis di istana.
 
Dalam bidang pendidikan, ahlu dzimmi juga mendapatkan fasilitas pendidikan tanpa ada pembatasan terhadap perbedaan agama (Ummu Salamah, “Sejarah Kehidupan Sosial Ahlu Dzimmi Pada Masa Khalifah ‘Abd Al-Rahman III  (912m-961m) Dinasti Umayyah Ii Di Andalusia” Skripsi IAIN Syekh Nurjati Cirebon: 2017).
 
Kebijakan yang diterapkan oleh Abdurrahman III tidak lain adalah meleburkan ras dan suku negeri menjadi satu bangsa. Ia tidak melihat latar belakang agama yang dimiliki oleh orang lain.
 
Namun membangun peradaban dengan membentuk kesadaran bahwa mereka adalah satu, yang harus bekerjasama secara kolektif untuk mewujudkan pemerintahan yang makmur dan bisa mensejahterakan masyarakat.
 
Dari kebijakannya itu pula, Dinasti Umayyah dikenal sebagai kiblat ilmu pengetahuan Eropa pada masa itu, serta dikenal sebagai negeri yang kaya raya.
 
Sosok Abdurrahman III mencerminkan sifat kepemimpinan yang oleh ibnu Khaldun dijelaskan bahwa, kepemimpinan membutuhkan solidaritas sosial. Artinya, seseorang dalam memimpin tidak hanya dengan kekuasaan yang dimilikinya, akan tetapi solidaritas sosial, harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
 
Karena, yang dihadapi seorang pemimpin adalah masyarakat yang heterogen. Mulai dari perbedaan latar belakang, cara pandang, serta budaya. Maka solidaritas sosial seorang pemimpin harus lebih tinggi agar mampu melihat kebutuhan masyarakatnya dan memajukan sebuah negara kekuasaan.
 
***

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x