Mendekam di Penjara Thaksin Bakal Jadi Penasihat Pemerintah Thailand

- 24 September 2023, 06:47 WIB
Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra
Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra /Tangkapan layar Instagram @thaksinshinawatra/

 

BERITA KBB - Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, yang saat ini mendekam di penjara, dikabarkan akan menjadi penasihat pemerintahan baru yang dipimpin oleh Srettha Thavisin dari Partai Pheu Thai. Thaksin, yang digulingkan oleh kudeta militer pada tahun 2006, kembali ke Thailand pada bulan Agustus lalu setelah 15 tahun mengasingkan diri di luar negeri. Ia langsung ditangkap dan dijatuhi hukuman delapan tahun penjara atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

 

Namun, menurut sumber dari partai berkuasa, Thaksin bisa dibebaskan bersyarat secepatnya pada akhir Februari tahun depan. Hukumannya telah dikurangi menjadi satu tahun setelah ia kembali dari pengasingan. Sumber tersebut juga mengatakan bahwa pemerintahan koalisi baru berencana untuk berkonsultasi dengan Thaksin setelah ia dibebaskan dari penjara.

 

Perdana Menteri Srettha Thavisin, yang terpilih melalui pemungutan suara parlemen pada bulan lalu, mengatakan bahwa Thaksin masih bisa mengabdi kepada negaranya. Ia mengatakan bahwa Thaksin memiliki pengalaman enam tahun di pemerintahan dan bisa membantu pemerintah baru untuk meningkatkan ekonomi Thailand.

 

“Thaksin punya nilai tambah bagi pemerintah dan rakyat Thailand,” kata Srettha dalam wawancara dengan Bloomberg TV di sela-sela Majelis Umum PBB di New York. Ia menambahkan bahwa ia ingin mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen per tahun dengan mengikuti kebijakan Thaksinomics yang pernah diterapkan oleh Thaksin pada awal 2000-an.

 Baca Juga: Jadwal Trans Tv Minggu 24 September 2023 Tayang Film The Expendables 3 Dan Unhinged, Pasti Seru!

Thaksinomics adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Thaksin saat menjabat sebagai perdana menteri dari tahun 2001 hingga 2006. Kebijakan tersebut meliputi program bantuan sosial untuk warga miskin, subsidi kesehatan, pinjaman mikro, dan investasi infrastruktur. Kebijakan tersebut berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Thailand hingga rata-rata delapan persen per tahun.

 

Namun, Thaksin juga menuai banyak kritik dan kontroversi dari kelompok elit royalis dan pendukung militer yang menuduhnya korup, otoriter, dan tidak taat kepada raja. Thaksin juga dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam menangani pemberontakan di selatan Thailand yang didominasi oleh etnis Melayu Muslim.

 

Pada tahun 2006, Thaksin digulingkan oleh kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Sonthi Boonyaratglin. Sejak itu, politik Thailand terus dilanda oleh konflik dan krisis antara pendukung dan lawan Thaksin. Pendukung Thaksin dikenal sebagai “kaos merah”, sedangkan lawan Thaksin dikenal sebagai “kaos kuning”.

 

Kedua kelompok ini sering melakukan demonstrasi besar-besaran dan bentrokan di jalanan Bangkok dan kota-kota lainnya. Beberapa kali terjadi pergantian kekuasaan melalui pemilu atau kudeta militer. Pada tahun 2014, militer kembali mengambil alih kekuasaan dengan menggulingkan pemerintahan Yingluck Shinawatra, adik perempuan Thaksin yang juga berasal dari Partai Pheu Thai.

 Baca Juga: Rhoma Irama Sampaikan Wasiat Ini, Merasa Ajalnya Sudah Dekat

Militer kemudian membentuk sebuah junta yang disebut Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) yang dipimpin oleh Jenderal Prayut Chan-o-cha. Junta ini berkuasa hingga tahun 2019, ketika diadakan pemilu pertama setelah kudeta. Namun, pemilu tersebut dianggap tidak adil dan bermasalah oleh banyak pihak.

 

Hasil pemilu menunjukkan bahwa Partai Palang Pracharath (PPRP), partai pro-militer yang didukung oleh junta, memenangkan suara terbanyak. Namun, Partai Pheu Thai, partai pro-Thaksin, memenangkan kursi terbanyak di parlemen. Kedua partai ini kemudian bersaing untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai lainnya.

 

Akhirnya, setelah berbulan-bulan negosiasi dan intrik politik, Prayut berhasil terpilih kembali sebagai perdana menteri dengan dukungan dari partai-partai koalisi yang mayoritas berasal dari sayap kanan dan konservatif. Namun, pemerintahannya tidak stabil dan menghadapi tantangan dari oposisi, gerakan mahasiswa, dan pandemi COVID-19.

 

Pada bulan Agustus tahun ini, Prayut mengundurkan diri dari jabatannya setelah gagal mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Ia juga menghadapi tekanan dari raja Maha Vajiralongkorn yang dikabarkan tidak senang dengan kinerjanya. Prayut digantikan oleh Srettha Thavisin, seorang pengusaha muda dan politisi baru yang berasal dari Partai Pheu Thai.

 

Srettha adalah anak dari Thavisin Shinawatra, sepupu Thaksin. Ia juga merupakan mantan CEO dari Grab Thailand, sebuah perusahaan transportasi online yang populer di Asia Tenggara. Srettha dikenal sebagai sosok yang moderat dan reformis. Ia berjanji untuk memperbaiki situasi kesehatan dan ekonomi di Thailand dengan mengedepankan kerjasama dan dialog antara semua pihak.

 

Namun, rencana Srettha untuk menjadikan Thaksin sebagai penasehat pemerintah menuai reaksi negatif dari kelompok oposisi dan anti-Thaksin. Mereka menilai bahwa hal ini adalah bentuk nepotisme dan pengkhianatan terhadap raja dan negara. Mereka juga mengkhawatirkan bahwa Thaksin akan menggunakan pengaruhnya untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya dan mengembalikan kekuasaannya.

 

“Thaksin adalah seorang buronan hukum yang harus dipenjara, bukan dijadikan penasihat pemerintah. Ini adalah penghinaan terhadap rakyat Thailand yang menginginkan demokrasi dan keadilan,” kata Abhisit Vejjajiva, mantan perdana menteri dan pemimpin Partai Demokrat, salah satu partai oposisi terbesar.

 

Sementara itu, kelompok pendukung Thaksin menyambut baik rencana Srettha tersebut. Mereka menganggap bahwa Thaksin adalah pemimpin yang visioner dan populer yang bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi Thailand. Mereka juga berharap bahwa Thaksin bisa mendapatkan pengampunan dari raja dan kembali ke panggung politik.

 

“Kami sangat senang mendengar bahwa Thaksin akan menjadi penasihat pemerintah. Kami percaya bahwa ia masih memiliki banyak ide dan solusi untuk memecahkan masalah-masalah di Thailand. Kami juga berdoa agar raja memberikan belas kasihan kepada Thaksin dan membebaskannya dari segala tuduhan,” kata Nattawut Saikua, pemimpin Front Persatuan Demokrasi Nasional melawan Diktatur (UDD), sebuah kelompok aktivis pro-Thaksin yang dikenal sebagai “kaos merah”.

 

Dengan adanya rencana ini, Thailand kembali memasuki babak baru dalam sejarah politiknya yang panjang dan rumit. Apakah rencana ini akan berhasil atau gagal? Apakah rencana ini akan membawa perdamaian atau konflik? Apakah rencana ini akan membuka jalan bagi rekonsiliasi atau pembalasan? Hanya waktu yang akan menjawab.***

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah