Satgassus Polri Temukan Potensi Korupsi Pinjaman PEN Hingga Distribusi Pupuk Bersubsidi

- 3 Januari 2023, 19:42 WIB
Satgassus Polri Temukan Potensi Korupsi Pinjaman PEN Hingga Distribusi Pupuk Bersubsidi
Satgassus Polri Temukan Potensi Korupsi Pinjaman PEN Hingga Distribusi Pupuk Bersubsidi /
 
 
BERITA KBB - Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Korupsi Polri menemukan potensi korupsi distribusi program Pupuk Bersubsidi oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
 
Wakil Kepala Satgassus Pencegahan Polri, Novel Baswedan mengatakan, temuan itu didapat karena masih banyak ditemukan penerima ganda Pupuk Bersubsidi yang dituangkan dalam elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
 
“Masih banyak ditemukan penerima ganda Pupuk Bersubsidi yang dituangkan dalam e-RDKK,” ujar Novel.
 
 
Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menjelaskan, pihaknya menemukan belum optimalnya penggunaan Kartu Tani, baik dari sisi distribusinya dan sarana prasarananya.
 
Juga belum optimalnya pendataan penerima Pupuk Bersubsidi dan pengawasan distribusi Pupuk Bersubsidi oleh pemerintah daerah.
 
“Masih ditemukan Pupuk Bersubsidi yang diduga kualitasnya di bawah standar,” ujar Novel.
 
Selain itu, Satgassus Polri juga menemukan potensi korupsi dalam pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk daerah pada sektor infrastruktur. 
 
 
Diantaranya, terdapat tiga pemerintah daerah yang gagal mendapatkan pinjaman PEN untuk Daerah karena belum memenuhi persyaratan sampai dengan bulan September 2022.
 
“Sehingga tidak lagi memungkinkan untuk melaksanakan proyek sesuai perencanaan pada tahun berjalan,” ujar Novel.
 
Ditemukan juga keterlambatan dalam realisasi penggunaan pinjaman PEN di beberapa daerah.
 
“Belum optimalnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya berasal dari fasilitas Pinjaman PEN untuk daerah,” paparnya.
 
Temuan ketiga, potensi korupsi dalam Penyaluran Bantuan Tunai Langsung Dana Desa (BLT-DD). 
 
Diantaranya Terdapat perbedaan penerapan cara pendataan, mulai dari pendata calon keluarga penerima manfaat (KPM) BLT- DD yang berbeda-beda untuk setiap desa.
 
 
“Kriteria yang beragam yang digunakan oleh desa dalam pemilihan calon KPM dan tidak semua desa menggunakan kertas kerja sebagai acuan atau tidak terdokumentasikannya dengan baik kertas kerja pendataan, dapat menyebabkan potensi pemilihan penerima bantuan yang kurang transparan dan akuntabel,” kata Novel.
 
Dalam kasus ini, masih ditemukannya penyerapan rendah di sebagian desa pada penyaluran tahap I dan II, disebabkan adanya perubahan sistem dari tunai menjadi non-tunai.
 
Namun demikian, perubahan data penerima bantuan sosial Kemensos dari DTKS sebagai bahan verifikasi penerima BLT-DD yang datang belakangan, juga mempengaruhi penyerapan. Karena tidak diperbolehkan penerima BLT-DD ganda dengan bantuan sosial lainnya.
 
Selain itu, tidak ditemukan adanya kasus pemotongan BLT-DD bagi masyarakat. Namun demikian, tidak adanya biaya operasional dalam penyaluran tunai, dapat berpotensi terjadinya pemotongan terhadap BLT-DD yang diterima masyarakat tersebut.
 
“Meskipun belum pernah ditemukan tindak kejahatan terhadap proses pengambilan dana BLT-DD, kondisi geografis dan jarak antara desa dengan bank penyalur dapat menjadi potensi kerawanan terjadinya tindak pidana dalam proses pengambilan dana tunai BLT-DD tersebut,” ujar Novel.
 
Keempat, ditemukannya potensi korupsi pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang. 
 
Di antaranya, rekening penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang, khususnya untuk tambang non batuan yang seharusnya dikelola oleh Pemerintah Pusat (Ditjen Minerba KESDM) pada umumnya masih dalam penguasaan Pemerintah Provinsi / Kabupaten / Kota.
 
“Secara nasional diperkirakan nilainya mencapai triliunan rupiah,” ujar Novel.
 
Administrasi pencatatan dan pelaporan penempatan jaminan reklamasi dan pasca tambang juga belum terselenggara dan terintegrasi dengan baik.
 
“Kegiatan pengawasan pengelolaan jaminan reklamasi dan pasca tambang belum optimal setelah diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 2020,” papar Novel.
 
Selain itu, kepatuhan perusahaan pemegang IUP untuk melakukan dan melaporkan kegiatan reklamasi sesuai rencana relatif masih rendah.
 
“Lembaga atau unit kerja pemerintah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup relatif tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan reklamasi dan pasca tambang,” ujarnya.
 
Temuan potensi korupsi terakhir adalah perbaikan tata kelola ekspor - impor. Terdapat permasalahan dan celah penyimpangan pada penyaluran importasi.
 
“Masih adanya importir yang bekerja sama dengan dengan oknum untuk melakukan pelanggaran importasi,” ujar Novel.
 
Hal itu terjadi karena belum optimalnya pengawasan internal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta ditemukan adanya intervensi dari pihak lain yang dapat mempengaruhi independensi dan integritas petugas pemeriksa dalam proses importasi.
 
Ditemukan juga praktik nominee dan ‘pinjam bendera’ dalam kegiatan importasi. Serta kurangnya sinergitas dan koordinasi para pemangku kepentingan terkait ekspor impor.
 
“Dalam kegiatan bersama Itjen Kemenkeu di Cikarang Dry Port ditemukan pelanggaran kepabeanan yang dilakukan oleh 2 importir dalam 2 kontainer, berupa pemasukan barang tidak sesuai dokumen, antara lain motor besar, sepeda premium, barang mewah dan barang Lartas lainnya sehingga dilakukan penegahan dan nota pembetulan nilai total sebesar Rp2.‪425.315.000‬,” papar Novel.
 
Sebagai tindak lanjut atas rekomendasi Satgasus Polri, Kemenkeu kata Novel, telah merespons dengan melaksanakan Program Reformasi Berkelanjutan dengan fokus penataan pada lima Pelabuhan Utama termasuk Cikarang Dry Port yang diikuti dengan penguatan pengawasan pada pada wilayah Pesisir Timur Sumatera untuk mencegah terjadinya ballon effect akibat adanya pengetatan di Pelabuhan Utama.
 
Atas temuan-temuan hasil deteksi korupsi di atas, Satgasus Pencegahan Korupsi Polri telah melakukan koordinasi dan menyusun aksi pencegahan korupsi dengan Kementerian/Lembaga terkait diantaranya melalui kegiatan pendampingan, pengawasan dan perbaikan regulasi.
 
“Terkait dengan program pencegahan korupsi melalui implementasi Single Identity Number (SIN) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penerimaan negara yang bersumber dari cukai, saat ini masih berjalan,” pungkasnya.***

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x