Trauma dan Harapan Masyarakat Merapi

- 4 Februari 2023, 23:15 WIB
Foto ilustrasi Gunung Merapi.*
Foto ilustrasi Gunung Merapi.* /Antara /
 
Berita KBB - Masih melekat di benak Wijiana malam mencekam saat Merapi meletus, Jumat malam bulan Oktober 2010, sekitar pukul dua belas, Wijiana bersama istri dan satu orang anaknya diungsikan ke Maguwoharjo.
 
Tempat pengungsian tersebut penuh sesak dengan orang-orang yang juga mengungsi, Wijiana beserta keluarga lantas menuju tempat pengungsian lain hingga akhirnya sampai di STIE YKPN Yogyakarta.

Setidaknya kurang lebih dua bulan ia mengungsi, pulang-pergi melihat kondisi rumah yang telah menjadi kerangka, terkena awan panas dari letusan gunung Merapi. 
 
 
Ia ingat bagaimana hal serupa juga terjadi terhadap rumah-rumah warga lainnya. Kemudian datang kabar, teman baiknya, Mbah Maridjan sekaligus kuncen gunung Merapi ditemukan tewas dalam keadaan bersujud di rumahnya. Kini rumah tersebut dijadikan objek wisata Petilasan Mbah Maridjan.

Wijiana mengenang, dahulu tempat Mbah Maridjan sering dijadikan tempat kumpul wisatawan. Banyak wisatawan datang dari luar kota bahkan luar negeri.
 
Mbah Maridjan dalam benaknya adalah sosok yang hangat, pandai menyambut tamu. “Semua wisatawan yang datang suka Mbah Maridjan,” tutur Wijiana. 
 
 
Tak lupa kenangan mengenai sosoknya yang sering membuat wedang dan kopi untuk tamu-tamu pun wisatawan yang menginap di rumah Mbah Maridjan.

“Dia hebat, menyatukan banyak orang dalam satu kelompok, berdiskusi bersama,” jelasnya Wijiana.

Sebelum Mbah Maridjan, ada Mbah Hargo yang merupakan ayah dari Mbah Maridjan, karena sudah tua, ia mewariskan jabatan kuncen kepada Mbah Maridjan, sampai diturunkan kepada Mbah Asih, anak ketiga Mbah Maridjan.

Wijiana tahu Merapi sewaktu-waktu bisa kembali meletus, terlebih kini Merapi dalam status waspada level dua. Mengingat peristiwa letusan yang menewaskan sedikitnya 300 orang. 
 
Wijiana menanggapi pertanyaan saya tentang bagaimana jika Merapi kembali meletus. Ia menjawab, “Saya biasa-biasa saja, Merapi adalah sumber penghidupan, lahir dan tumbuh di sini. Bila sewaktu-waktu Merapi meletus lagi, saya harap kami semua selamat.”
 
Baca Juga: Truk Listrik Tesla Kepergok Mengaspal, Bisa Capai 100 Kilometer per Jam dalam 2,9 Detik

Namun berbeda dengan Ngatinem, wanita berusia 81 tahun yang hidup dengan berjualan makanan ringan untuk wisatawan di sekitar Petilasan Mbah Maridjan.
 
Saat diberikan pertanyaan serupa, Ngatinem mengatakan trauma. Ekspresinya terlihat jelas ketakutan. Beberapa kali Ngatinem bahkan sampai menepuk kepalanya untuk menjauhkan bala. 
 
“Amit-amit, mba. Trauma itu jelas,” ujarnya sambil bergidik.

Bila dilihat baik Ngatinem dan Wijiana, keduanya sama-sama tidak bisa berbuat banyak. Meski pemerintah telah memberikan bantuan relokasi rumah tetap yang aman dari dampak letusan gunung Merapi, akan tetapi sumber penghidupan mereka berada diam di kawasan gunung Merapi.
 
Baca Juga: Truk Listrik Tesla Kepergok Mengaspal, Bisa Capai 100 Kilometer per Jam dalam 2,9 Detik

Pada akhir wawancara bersama Wijiana, ia menyampaikan aspirasinya kepada saya, “Saya harap semua kembali kepada aktivitas semula. Ada warga yang dahulu ikut merasakan bencana Merapi pergi, dan ada banyak warga baru yang menetap di sini...
 
... dahulu warga kami kebanyakan bertani dan beternak. Jadi ada saja hikmahnya setelah Merapi meletus, kini banyak yang berkunjung. Anak-anak muda jadi punya komunitas jip. Saya terbuka dengan wisatawan yang datang, silakan berkunjung ke sini,” tutup Wijiana.***
 

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x