Mengulik Peran Besar Netizen Hadapi Suatu Perkara

2 Februari 2023, 19:07 WIB
Komenan netizen atas postingan akun instagram@ataliapr //instagram@ataliapr

 

BERITA KBB -The Power of Netizen: No Viral No Justice, bukan sekadar ungkapan belaka. Tangan-tangan netizen berperan besar akan keadilan dan kedamaian negeri Wakanda.

Saya sempat mendengar cerita Raffi Ahmad di Instagram tentang pengalamannya bersama Gigi yang tengah berlibur di Belanda, di sana Raffi mengungkap perilaku san pegawai hotel yang terkesan cuek dan menganggap remeh keluhannya terkait fasilitas hotel.

Ketika mengajukan komplain, Raffi mendapat pandangan sinis sekaligus remeh—karena dipandang sebagai orang Asia—ungkap Raffi. 

 Baca Juga: Jadwal RCTI 2 Februari 2023, Ada Jangan Bercerai Bunda, Rahasia Dan Cinta hingga Ngebor Rezeki, Simak Acaranya

Namun, tatkala Raffi dengan sengaja memperlihatkan jumlah followers di akun Instagramnya yang mencapai 40 juta, si pegawai hotel tampak syok; terkejut mengetahui fakta bahwa followers Raffi mengalahkan jumlah total populasi Belanda.

 

Namun sebetulnya, mengapa followers Raffi penting? Toh, itu hanya sebatas angka, yang anehnya berhasil membalikkan keadaan: diskriminasi menjadi penthouse sebagai kompensasi?

 

Kiranya, kita perlu mengulik pemikiran si pegawai hotel hingga alasan mengapa semakin banyak kerumunan dalam satu topik dapat mempengaruhi proses suatu perkara. Selengkapnya, di bawah ini!

 

Manusia adalah Makhluk Reaktif dan Terlampau Peduli

 

Kita memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial, mereka berkumpul pada ketertarikan yang sama, entah itu suatu isu, hobi, keterampilan, atau sekadar melihat fenomena. Seperti fenomena gerhana dan gerombolan orang di jalan; satu waktu memandang langit yang sama.

 

Seperti halnya dunia nyata; dunia maya pun menciptakan pola, ia berhasil mengubah tatanan realitas sosial. Saat kita mengerjap bangun dari tidur yang tenang, tangan kita sudah meluncur bergerilya mencari keberadaan ponsel, menerima puluhan, ratusan, atau ribuan notifikasi.

 

Beragam datang dari Whatsapp, Twitter, 999+ dari TikTok, atau 99+ lainnya dari second akun di Instagram, ramai oleh teman karib, jua berita kabar orang-orang yang tidak kita kenal.

 

Bayangkan 277,7 juta total populasi Indonesia, terhubung dalam satu jejaring. Sementara 191,4 juta orang masuk pada satu server media sosial, hampir 68,9 persen dari total populasi melakukan pola serupa, mengawali hari dengan terpaan media. Berkumpul pada topik, interest, dan fenomena.

 

Responsnya beragam, sebab kita adalah makhluk hidup reaktif, terlebih bila mengingat netizen Indonesia yang dilabeli sebagai masyarakat peduli. Sehingga kita dapat membagikan, menyukai, dan bebas mengomentari satu atau dua perkara yang menjadi perhatian. 

 

Melihat topik-topik umum di Twitter layaknya ketidakadilan, kasus misteri yang coba dipecahkan, sampai video syur pemersatu bangsa, kerap merangsang kita untuk turut terlibat.

 

Faktanya seperti misteri kasus hilangnya Yana, yang diduga hilang dibawa ular kuning, namun ternyata justru sedang bersama istri kedua. Humor netizen lantas mewarnai jagat maya, berikut cosplay pocong unjuk aksi, semena-mena dirugikan oleh Yana.

 

Beberapa kasus ketidakadilan juga sering disuarakan menyusul tagar #PercumaLaporPolisi, #ThePowerofNetizen, disertai harapan agar kasusnya dapat diarak massa demi tegaknya keadilan.

 

Kita kemudian masuk pada keterampilan netizen, sebagai gambaran warga negara yang aktif terlibat dalam komunitas daring, memberikan informasi dan petunjuk tentang suatu perkara.

 

Sebagaimana yang ditulis Max Fisher pada bukunya, bahwa internet telah merasuk pada jiwa kita, mengeksploitasi hausnya kebutuhan terdalam akan koneksi. Kita dapat merasa marah, gundah, sampai penelitian teranyar menyebut bahwa media sosial dapat menyebabkan gangguan mental.

 

Karenanya, bentuk maya ini—algoritma yang dirancang sedemikian rupa guna memprovokasi—selain menghubungkan kita pada satu ketertarikan yang sama, juga membentuk kita menjadi suku-suku.

 

Jejaring masyarakat “netizen” selanjutnya dapat melakukan penyelidikan lebih dalam untuk pengungkapan fakta, baik dari info awal ataupun petunjuk yang diberikan, atau justru merombaknya kembali. 

Baca Juga: Kota Bandung Gandeng Petaling Jaya Kembangkan SDM dan UMKM

Tanpa pihak kontrol, ini kemudian menciptakan bom waktu yang setiap saat mengintai kerukunan dalam berbangsa.

 

Bagaimana Bentuk Abstrak Memberi Dampak Signifikan

 

Memanfaatkan kelebihan media sosial untuk menyebarkan berita dan informasi secara instan ini, pada akhirnya menciptakan kekuatan untuk mempengaruhi opini publik. Semakin banyak kita berinteraksi dengan media sosial, semakin banyak nilai, idealisme, sampai keputusan kita yang terpengaruh.

 

Pada kasus ekstrem, kita lihat bagaimana konspirasi sumber COVID-19 yang berasal dari menara telekomunikasi seluler 5G, mampu menimbulkan huru-hara berujung aksi pembakaran menara di Inggris. Sampai sekarang sulit untuk mengungkap siapa dalang di konspirasi tersebut.

 

Beberapa kasus tidak adil juga kerap membawa solidaritas massa; terutama oleh netizen Indonesia. Dari kumpulan massa ini kemudian mendorong cepat penyelesain suatu kasus, apa lagi bila didasari oleh kekecewaan akan sistem, birokrasi, dan kinerja aparat negara.

 

Skala viral suatu topik yang dihitung berdasarkan like, share, comment, dan view, mendukung karakteristik relevansi suatu berita, standar pikir ini mengikat masyarakat kita. Banyak yang mengira semakin heboh suatu topik, maka amatan tersebut semakin dapat dipercaya.

 

Sudah dari bibit yang reaktif, individu kita juga mudah sekali terpedaya. Walhasil, beberapa kericuhan di dunia nyata tercipta; aksi turun ke jalan sampai memakan korban jiwa.

 

Alur inilah yang lantas menciptakan identitas diri, identitas masyarakat, dan identitas bangsa. Bagaimana kita dipandang oleh negara tetangga; oleh dunia, sekaligus bagaimana kita menghakimi diri kita sendiri.

 

Gaung #PercumaLaporPolisi, #ThePowerofNetizen, dan #NoViralNoJustice boleh jadi merepresentasikan kekuatan netizen Indonesia, namun di sisi lain pula menyiratkan ancaman di dunia nyata; bayang-bayang pertikaian, akibat ungkap realitas yang bersandar pada bias kebenaran, sesungguhnya masih pekat menyelimuti jagat maya.

Nyatanya, ruang dialog tak terukur ini tidak memiliki penengah “riil” yang dapat menentramkan kita, sebab masing-masing individu membawa setannya sendiri-sendiri.

Pada akhirnya, semua kembali pada individu-individu, kesadaran moral dan intelektual sampai paham akan bias dan batasan-batasan diri sendiri.

Maka kiranya begitulah pemikiran dan pemahaman si pegawai hotel, membayangkan, “Bagaimana kalau Raffi Ahmad mengulas hotel tempatnya bekerja kepada 40 juta followers, kiranya seperti apa respons followers Raffi?***

 

Editor: Siti Mujiati

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler