Kebijakan KLHK yang Kekiri-Kirian tentang KHDPK Harus Dibatalkan Oleh PTUN

18 Januari 2023, 14:10 WIB
Kebijakan KLHK yang Kekiri-Kirian tentang KHDPK Harus Dibatalkan Oleh PTUN /Miradin Syahbana /

BERITA KBB-Sidang gugatan terhadap kebijakan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup terkait Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), kembali digelar Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Selasa 17 Januari 2023. 

Dalam sidang tersebut penggugat dari Aliansi Selamatkan Hutan Jawa yang terdiri dari SEKAR PHT, SP2P, SERIMBA PHT, SERIMBA PPHT, LMDH dan berbagai elemen penggiat lingkungan mengajukan dua saksi ahli dan satu saksi fakta di hadapan majelis hakim yaitu Tri Atmojo Sejati (Kepala Biro Hukum & Humas LAN), Transtoto Handhadari (Pakar Kehutanan & Deden Rafi (Mahasiswa FH Unpad) didampingi oleh Kuasa Hukum dari Indrayana Centre For Government, Constitution And Society (INTEGRITY). 

Salah satu saksi ahli Transtoto Handhadari yang merupakan pemerhati kehutanan dan juga mantan Dirut Perhutani 2005-2008 mengatakan, kebijakan KHDPK dampak negatifnya saat ini sudah dirasakan oleh masyarakat.

Baca Juga: Daftar Pemain dan Sinopsis FTV Getar Cinta di Lantai 4, Joanna Alexandra, Ridwan Ghani, dan Donny Alamsyah

Sejumlah kawasan yang dijadikan KHDPK seperti Sumedang, Bogor, Cianjur Jawa Barat Ngawi, Pati, bahkan Gunung Kidul Jawa Tengah saat ini sudah mengalami bencana banjir yang lebih dari tahun-tahun sebelumnya.

Selain bencana alam, terjadi lahan hutan di karawang dijadikan pembuangan limbah B3, juga terjadi konflik horisontal antara lembaga masyarakat desa hutan yang sejak puluhan tahun mengelola hutan, dengan sejumlah pihak pengusung reforma agraria yang merasa diuntungkan dengan adanya SK KLHK nomor 287/2022 tentang KHDPK.

Bahkan di sejumlah daerah seperti Karawang Jawa Barat dan Kediri Jawa Timur sudah menelan korban luka2

“Sebetulnya antara BPN (Badan Pertanahan Negara) dengan Kehutanan itu terjadi konflik lama. Karena Perhutani mengelola lahan 72 persen hutan dari seluruh daratan di Pulau Jawa, sisanya diurus oleh BPN. BPN tidak pernah bisa mengurus hutan yang 72 persen tadi, jadi timbul perang dingin yang tidak pernah selesai, ini (KHDPK) menjadi kesempatan untuk orang BPN masuk hutan yaitu mensertifikatkan hutan yang dulu tidak pernah disentuh, itu persoalannya," kata Transtoto di PTUN Jakarta. 

Baca Juga: Gugatan Ditolak PTUN, Partai Berkarya Gagal Ikut Pemilu 2024

Sementara itu Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) Eka Santosa yang juga hadir bersama para senior rimbawan dan pemerhati lingkungan untuk memberi dukungan dalam persidangan mensinyalir, adanya agitasi dari pihak tertentu dengan memunculkan jargon “hutan untuk rakyat”.

Padahal dengan pengelolaan saat ini oleh Perhutani merupakan sebuah keberpihakan terhadap kelangsungan dan kesejahteraan rakyat.

Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 yang berbunyi, (ayat 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Ayat 3 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Maka jika lahan hutan dibagi-bagikan kepada individu sesuai kebijakan KHDPK, itu akan bertentangan Undang-undang Dasar 1945.
Eka pun menjelaskan pada 1960 Presiden Pertama republik Indonesia Ir. Soekarno telah memberikan proteksi terhadap hutan dengan membentuk Perusahaan Kehutanan Negara walaupun saat itu banyak tekanan dari underbouw PKI, yang ingin menjadikan hutan sebagai objek reforma agraria.

“Presiden Pertama kita Bung Karno memberikan proteksi yaitu dengan membentuk Djawatan Kehutanan walaupun pada saat itu banyak tekanan-tekanan dari underbouw PKI, dalam hal ini SARBUKSI dan BTI yang agresif ingin menjadikan hutan sebagai reforma agraria. Jadi prinsip kita bukan tidak setuju andaikata reforma agraria ini harus dijalankan, tapi maaf untuk hutan jangan dijadikan objek reforma agraria, tidak ada dalilnya. Bukankah kita masih memiliki lahan-lahan yang terlantar, " ucap Eka Santosa di PTUN Jakarta. 

Eka pun menambahkan saat ini tidak ada institusi apalagi individu yang kompeten mengelola hutan kecuali Perhutani. Sehingga dapat dipastikan jika hutan dibagi-bagikan kepada individu, akan terjadi dampak kerusakan ekologi yang sangat besar di pulau Jawa.

“Ya kalau selama ini hutan jawa dikelola oleh Perhutani, lalu sekarang oleh LSM-LSM yang setengah liar itu yang akan mengelola hutan saya kira tidak bisa lah”. tambah Eka.

Ditempat yang sama Perwakilan Penggugat yang juga Ketua Umum Serikat Karyawan Perhutani Muhamad Ikhsan mengatakan, pada persidangan selasa (17/01/23) terbukti bahwa SK KLHK Nomor 287/2022 tidak melalui kajian hukum yang baik.

“Secara administratif terbukti bahwa SK 287 itu tidak melalui kajian hukum yang bagus juga, misalnya didalam PP 23 itu kan disyarakatkan bahwa KHDPK ditetapkan di wilayah kerja yang tidak menjadi wilayah kerja Perum Perhutani, sementara wilayah kerja Perhutani belum ditetapkan tetapi KHDPK sudah ditetapkan oleh SK 287, walaupun secara peta mereka sudah menetapkan tetapi ada yang disembunyikan," ucap Ikhsan saat ditemui di PTUN Jakarta. 

Bahkan ia mengaku KLHK dalam membuat kebijakan KHDPK, Perhutani sebagai pihak yang terdampak tidak pernah dilibatkan, padahal sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance pihak terdampak dalam hal ini Perhutani harus dilibatkan untuk didengar masukannya.

“Good Governance itu salah satunya transparansi, artinya saat mengeluarkan kebijakan publik itu harus transparan, akuntable, fairness artinya yang terdampak jangan didiskriminasi, semua masukan harus diterima. Kita merasa Perhutani tidak diikutkan (dalam pengambilan kebijakan SK 287) padahal dalam sistem keperbukaan publik, pihak yang terdampak harus diinformasikan sehingga mengetahui dampak apa yang akan terjadi, dan harus memberikan persetujuan tanpa paksaan”, pungkasnya.***

Editor: Miradin Syahbana Rizky

Tags

Terkini

Terpopuler