Biografi 5 Pahlawan Nasional Asal DKI Jakarta, di Antaranya Ismail Marzuki dan Husni Thamrin

- 6 November 2020, 14:41 WIB
Puisi Hari Pahlawan dari sastrawan Indonesia, Chairil Anwar dan WS Rendra.
Puisi Hari Pahlawan dari sastrawan Indonesia, Chairil Anwar dan WS Rendra. /Unsplash.com/@bantersnaps

BERITA KBB – Peringatan Hari Pahlawan 10 November sejatinya dimaknai untuk meneladani dan melanjutkan perjuangan para pahlawan. Tentunya, kita harus mengenal para pahlawan tersebut, termasuk para pahlawan nasional dari DKI Jakarta.

Sebagaimana sejumlah daerah lainnya di Indonesia, Jawa Barat pernah mengalami masa penjajahan Belanda.

Berkat perjuangan para pahlawan, akhirnya masyarakat Jawa Barat bisa terbebas dari penjajahan tersebut. Untuk itulah, kita harus bisa menghargai jasa para pahlawan kita dengan meneladani semangat perjuangan mereka.

Baca Juga: dr. Tirta Bongkar Sosok 'Seseorang' yang Tak Ingin Dia Ikut Campur Dalam Kasus Jerinx, Siapa Dia?

Di Jawa Barat, ada beberapa tokoh pahlawan nasional, di antaranya adalah Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Mengutip situs Sejarah Lengkap, Berikut biografi singkat 5 pahlawan nasional asal DKI Jakarta

1. Mohammad Husni Thamrin

Muhammad Husni Thamrin lahir di Jakarta pada 16 Februari 1894 dan wafat pada 11 Januari 1941. Sebagai anak dari ayah orang Belanda dan ibu yang berasal dari Betawi, Husni Thamrin tidak menyandang nama Belanda karena ayahnya meninggal sejak masih kecil dan ia diasuh oleh paman dari pihak ibunya.

Kakeknya dari pihak ibu yang bernama Ort berkebangsaan Inggris, pemilik hotel di area Petojo menikah dengan wanita Betawi yang bernama Noeraini.

Baca Juga: Jaga Imun Tubuh di Masa Pandemi, Arya Saloka Selalu Bawa Ini ke Lokasi Syuting Ikatan Cinta

Thamrin pernah menjadi Ketua Parindra, bekerja di kantor residen Batavia, di perusahaan pelayaran Konnkiijke Paketvaari Maatschappij (KPM), menjadi anggota dewan Batavia, dan mendirikan Persatuan Kaum Betawi untuk kemajuan warga Jakarta pada 1923.

Ia diangkat sebagai pahlawan nasional pada 28 Juli 1960. Beliau dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.

2. Ismail Marzuki

Lahir di Kwitang pada 11 Mei 1914 dan wafat pada 25 Mei 1958 di Jakarta, ia adalah putra Betawi asli. Bersekolah di HIS Menteng hingga tamat di kelas 7 dan MULO Jakarta.

Ayahnya membelikan berbagai alat musik seperti harmonika, mandolin dan lainnya, maka ia mulai bermain musik dan menciptakan lagu. Ia lancar berbahasa Inggris dan Belanda, dan merupakan orang pertama yang memperkenalkan akordeon ke dalam langgam melayu untuk menggantikan harmonium pompa. Lagu pertamanya berjudul O sarinah saat berusia 17 tahun.

Daftar lagu – lagu ciptaannya antara lain Sarinah, Ali Baba Rumba, Olhe Lheu, Bisikan Tanah Air, Indonesia Pusaka, mars Gagah Perwira, dan yang paling terkenal adalah Rayuan Pulau Kelapa pada tahun 1944.

Ismail Marzuki diangkat menjadi pahlawan nasional dari Jakarta pada 5-11-2004.

Baca Juga: Didatangi Fans ke Lokasi Syuting Ikatan Cinta RCTI, Arya Saloka Kaget Sebelum Menyantap Makanan Ini

3. W.R Supratman

Tanggal dan tempat lahir WR Supratman ada dua versi, yaitu 9 Maret di Jatinegara Jakarta atau 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kab, Purworejo, Jateng.

Ia adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ia mulai tertarik pada pergerakan nasional ketika bekerja sebagai wartawan, lalu menulis buku berjudul Perawan Desa yang kemudian disita dan dilarang beredar oleh Pemerintah Belanda.

Supratman menggemari musik berkat kakaknya, Roekijem hingga menguasai biola. Juga menguasai cara membuat lagu hingga tercipta lagu Indonesia Raya di Bandung dalam usia 21 tahun.

Lagu itu diperdengarkan secara instrumental dengan biola pada malam penutupan kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Sejak itu lagu tersebut kerap dinyanyikan pada kongres partai – partai politik hingga setelah kemerdekaan menjadi lagu kebangsaan.

W.R Supratman ditetapkan sebagai pahlawan nasional dari Jakarta pada tahun 1971.

Baca Juga: Pilpres AS Terbaru Hari Ini: Perolehan Suara Menyusut, Trump Tuding Ada Kecurangan

4. Kapten CZI Anumerta Pierre Tendean

Pierre Andreas Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939 dan meninggal pada usia muda yaitu 26 tahun pada 1 Oktober 1965 pada peristiwa G30SPKI.

Ayahnya adalah seorang dokter bernama dr. A.L Tendean berdarah Minahasa dan bunya bernama Cornet M.E, wanita Indo berdarah Prancis. Ia bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958. Lulus dengan pangkat Letnan Dua, ia kemudian menjadi Komandan Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/ Bukit Barisan di Medan.

Kemudian mengikuti pendidikan intelijen di Bogor pada tahun 1963, lalu ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata – mata memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia pada saat terjadinya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

Baca Juga: Cemburu Anda sampai mana , masih normal kah?

Pada 30 September 1965 malam, pasukan Peristiwa G30S PKI mendatangi rumah Jenderal Nasution untuk menculiknya. Pierre yang tidur di belakang rumah terbangun karena suara tembakan dan kegaduhan tersebut, lalu segera berlari ke bagian depan rumah.

Ia ditangkap oleh gerombolan tersebut dan mereka mengiranya sebagai Sang Jenderal karena kondisi gelap. Pada saat itu Jenderal Nasution sudah melarikan diri dengan melompati pagar rumah. Pierre lalu dibawa ke Lubang Buaya bersama keenam perwira tinggi lain yang juga diculik, mereka lalu ditembak mati dan dibuang ke dalam sumur tua.

Pierre Tendean diangkat sebagai pahlawan nasional dari Jakarta pada 5 Oktober 1965.

5. Marsda TNI Anm. Prof. dr. Abdulrachman Saleh

Lahir di Jakarta pada 1 Juli 1909 dan wafat di Maguwoharjo, Sleman pada 29 Juli 1947. Ia bersekolah di HIS, MULO, AMS dan STOVIA. Karena STOVIA bubar sebelum studinya sempat selesai, ia meneruskan sekolah di GHS (Geneeskundige Hoge School) yang merupakan semacam sekolah tinggi dalam bidang kesehatan dan kedokteran.

Semasa mahasiswa, ia giat dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, dan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Setelah lulus kedokteran, ia mendalami ilmu faal sehingga dikenal sebagai Bapak Fisiologi Indonesia berkat jasanya mengembangkan ilmu faal di Indonesia yang ditetapkan Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958.

Baca Juga: Rencana Arie Untung Membakar Tas Mahal Brand Prancis direspon Ustad: Pakai Saja Agar Tidak Mubazir

Kemudian ia pindah ke bidang militer dengan memasuki dinas Angkatan Udara, diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946, mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang sambil tetap memberikan kuliah di Perguruan Tinggi Dokter di Klaten.

Ia tewas dalam misi  penerbangan ke India dan hendak mampir ke Singapura untuk mengambil bantuan obat – obatan dari Palang Merah Malaya. Misi yang dilakukan saat agresi Belanda pertama itu dikabarkan sudah mendapat persetujuan Belanda dan Inggris.

Akan tetapi, pesawat yang dibawanya ditembak oleh Belanda, hilang keseimbangan hingga patah menjadi dua bagian dan terbakar. Peristiwa ini diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962.

Penetapannya sebagai pahlawan nasional dari Jakarta dilakukan pada 9 November 1974. Namanya diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI AU dan Bandara di Malang.***

Editor: Cecep Wijaya Sari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x