HMD 2023: Perubahan Iklim Tingkatkan Frekuensi Banjir dan Longsor, Awalnya Terjadi Setiap 50 Sampai 100 Tahun

- 23 Maret 2023, 13:33 WIB
Sejarah dan tujuan dibentuknya Hari Meteorologi Sedunia 23 Maret
Sejarah dan tujuan dibentuknya Hari Meteorologi Sedunia 23 Maret /robert_marinkovic/Pixabay

Berita KBB - Tanggal 23 Maret diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Meteorologi Dunia (HMD). Peringatan HMD ini mengacu pada konvensi meteorologi 23 Maret 1950.

Konvensi meteorologi 23 Maret 1950 tersebut merupakan rangkaian panjang dari berdirinya badan cuaca di bawah PBB yaitu Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO).

Peringatan HMD 2023 yang ke-73 ini bertema "The Future of Weather, Climate, and Water Across Generations" atau "Masa Depan Cuaca, Iklim, dan Air untuk Lintas Generasi".

Baca Juga: Peringatan HMD ke-73: Perubahan Iklim Indonesia dan Global Lelehkan Salju Puncak Jaya Hingga Tersisa 1 Persen

Dalam puncak peringatan HMD 2023 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatera Barat, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan, akibat perubahan iklim, gejala kekeringan dan banjir lebih sering terjadi.

Dwikorita menyebutkan, sebelumnya rentang waktu kejadian itu berkisar 50 hingga 100 tahun. Kini, rentang waktunya menjadi semakin pendek atau lebih frekuen dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.

Ia memberi contoh munculnya siklon tropis Seroja yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur pada April 2021 lalu. Menurutnya, fenomena siklon harusnya jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia.

Baca Juga: Bangun Kawasan Alun-Alun Bandung Barat, Bupati Bandung Barat Hengky Hengky Satukan Tanah dan Air dari 165 Desa

“Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi," paparnya.

Selain siklon tropis Seroja, Dwikorita juga memberikan contoh kasus teranyar yakni bencana longsor yang terjadi di Kepulauan Natuna pada Senin 6 Maret 2023 lalu. Bencana itu diketahui menelan puluhan korban jiwa.

"Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, namun juga korban jiwa," pungkasnya.

Baca Juga: Luar Biasa! Inilah Keutamaan Solat Tarawih Selama Bulan Ramadhan, Harus Makin Semangat!

Sementara itu, Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dodo Gunawan mengatakan, dampak perubahan iklim selain cuaca ekstrem, mencairnya salju di gunung, krisis air bersih, atau meningkatnya wabah penyakit, juga membawa kerugian ekonomi dan politik.

"Intensitas bencana alam akan semakin sering terjadi, sedangkan bencana alam itu sendiri erat kaitannya dengan kemiskinan. Tidak sedikit rumah tangga yang jatuh ke lingkaran kemiskinan akibat bencana alam,” ujar Dodo.

Ia menambahkan, jika kondisi ini terus dibiarkan terjadi, tujuan Indonesia mencapai bebas dari kemiskinan akan menjadi semakin jauh. Dodo juga menegaskan, tidak ada satupun negara yang aman dari efek percepatan perubahan iklim.

Oleh karena itu, untuk menahan laju perubahan iklim, Dodo mengatakan, Indonesia harus melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi secara komprehensif dan terukur. Mitigasi dan adaptasi ini merupakan tugas dan tanggung jawab bersama-sama.

"Tidak hanya pemerintah, semua sektor harus terlibat mulai dari swasta dan dunia usaha, akademisi, pers atau media, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum. Semua harus terlibat tanpa terkecuali," tutupnya.***

 

Editor: Miradin Syahbana Rizky


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x